Header Ads

Sejarah Berdirinya Ultimate Fighting Championship UFC


Dana White, komisioner Ultimate Fighting Championship (UFC), mengatakan bahwa musim pertama The Ultimate Fighter (TUF) tayang di televisi adalah layaknya “kuda troya” yang menyusup ke balik benteng pertahanan lawan dan menghancurkan dari dalam. Sebelumnya, pemilik UFC yaitu Lorenzo Fertitta dan Frank Fertitta memang sempat putus asa. Membeli kepemilikan UFC dari tangan Semaphore Entertainment Group (SEG) pada 2001 silam dengan merogoh kocek US$ 2 juta, mereka justru kehilangan US$ 40 juta pada empat tahun berikutnya.
Kala itu, Fertitta bersaudara membisniskan laga-laga UFC seperti pertarungan tinju biasa, yaitu dijual per pertandingan dengan sistem pay-per-view. Mereka ingin mendapatkan uang hanya dengan memanfaatkan kontroversi UFC sebagai pertarungan kotor namun dengan peraturan lebih ketat. Selama tiga tahun pertama berada di tangan Fertitta bersaudara, UFC pun tak berkembang. Pada 2004, mereka lalu menciptakan reality show “The Ultimate Fighter” sebagai cara terakhir untuk menutup kerugian. Jika cara tersebut tidak berhasil, maka Lorenzo dan Frank sudah bersiap-siap menjual UFC.
Di tayangan musim pertama, karena merujuk konsep reality show, UFC tidak terlalu fokus pada pertarungan dan lebih menunjukkan bagaimana para atlet melakukan serangkaian tantangan. Mereka dikumpulkan di satu pusat pelatihan di Las Vegas, Nevada, dan pemirsa bisa melihat bagaimana para petarung berlatih dan saling bersaing. Ada 16 petarung yang dibagi ke dalam dua tim yang masing-masing akan dilatih oleh Chuck Liddell dan Randy Couture, dua legenda UFC pada satu dekade sebelumnya. Para peserta akan berebut menjadi juara dengan iming-iming hadiah kontrak UFC senilai enam digit.
Dengan konsep seperti itu, UFC mulai dikenal di Amerika Serikat. Namun, hingga jelang laga final, UFC tidak menimbulkan kehebohan yang membuat mata para penduduk Paman Sam terbelalak. Pihak televisi pun tidak tertarik menawari Fertitta bersaudara perpanjangan kontrak untuk musim kedua. Semua ini berubah di partai final antara Forrest Griffin melawan Stephan Bonnar. Hingga saat ini, laga final pada 9 April 2005 tersebut dikatakan sebagai laga yang mengubah takdir UFC dan menjadi pertarungan terbaik dalam sejarah UFC.
Pada partai final itu, Griffin dan Bonnar memang memberikan seluruh kemampuan mereka. Meski dengan pelipis yang sobek dan darah mengucur di muka, kedua petarung tak mau berhenti untuk saling melayangkan kepalan tinju dan tendangan hingga ke batas terakhir. Dengan cepat kabar tentang adanya pertarungan menarik itu tersebar luas. Pemirsa yang sedang menyaksikan laga itu menghubungi teman dan kerabatnya untuk mengatakan “hey, coba cek televisimu, ada dua orang yang berkelahi dengan hebat.” Jika semula hanya kurang dari 2 juta orang menyaksikan acara saat pra-laga, baku hantam antara Griffin dan Bonnar membuat jumlah tersebut melonjak menjadi 3,3 juta orang.
Penonton yang berada di dalam arena pun menambah riuh suasana dengan berdiri dan berteriak memberikan dukungan, karena mereka melihat baik Griffin dan Bonnar tak mau menyerah. Di akhir laga, Griffin dinyatakan sebagai pemenang oleh juri. Namun, Fretitta bersaudara mengambil keputusan impulsif untuk juga memberikan kontrak hadiah kepada Bonnar karena pertarungan memang berjalan dengan sangat ketat. Keputusan itu langsung diumumkan seketika, sesaat setelah Griffin dinyatakan menang. Para penonton yang memang bersimpati pada kedua petarung pun sontak ikut bersorak-sorai. Pertarungan dan drama tersebut itu lah yang membuat pemirsa televisi mendapatkan tontonan menarik yang baru.
Saat itulah Fretitta bersaudara paham bahwa garis takdir UFC sedang berubah, bahwa pertarungan antara Griffin dan Bonnar telah menjadi pintuk masuk bagi bela diri campuran menuju hati masyarakat Amerika. Berkat laga itu pula UFC dengan mudah mendapatkan kontrak untuk musim kedua. Dalam waktu sepuluh tahun setelah pertarungan Griffin versus Bonnar, bisnis UFC juga telah benar-benar berubah. Dari semula dibeli oleh Fretitta bersaudara dengan nilai US$ 2 juta, kini telah bernilai US$ 3 miliar. Semua hanya karena satu pertarungan. Sebuah langkah kecil yang berdampak besar. Itulah yang bisa disematkan pada keputusan seorang warga negara Skotlandia, George Gracie, menuju Brasil pada tahun 1826 yang menjadi sebuah titik sejarah besar dalam dunia bela diri.
Memang, bukan George yang langsung mencatat sejarah setibanya ia di Brasil, melainkan cicitnya, Carlos Gracie dan Helio Gracie di awal 1900-an.Ayah Carlos dan Helio, yang berarti cucu dari George, Gastao, memiliki usaha sirkus dan dari sini ia bertemu pejudo dari Jepang, Mitsuyo Maeda.Carlos belajar teknik judo dari Maeda dan kemudian setelah itu mengembangkan teknik sendiri hingga akhirnya lahirnya sebuah beladiri bernama Jujitsu Brasil.George kemudian mengajarkan teknik beladiri tersebut kepada para saudaranya termasuk Helio, dan mereka berdua inilah yang kemudian membuat beladiri Jujitsu Brasil menjadi terkenal luas di negara tersebut.
Ketenaran Keluarga Gracie dengan beladiri Jujitsu Brasil nya kemudian tidak lepas dari fakta bahwa mereka menguasai Vale Tudo, sebuah turnamen bela diri campuran yang sudah digelar sejak tahun 1920-an di Brasil.Seiring dominannya para petarung dari Keluarga Gracie dengan teknik mereka, hal itu makin membuat teknik mereka populer dan digemari.Dari segi gerakan, Jujitsu Brasil adalah bela diri yang mengutamakan pada kuncian, cekikan, dan makin efektif saat pertarungan dalam posisi ground fighting.
Jujitsu Brasil sangat memungkin untuk membuat orang yang lebih kecil mengalahkan lawan yang memiliki postur lebih besar. Filosofi mereka adalah menggunakan energi dengan efisien akan membuat sebuah gerakan kecil memiliki dampak yang luar biasa besar. Kesuksesan ‘generasi pertama’ yang dimotori George dan Helio, kemudian terus dilanjutkan kepada anak-anak mereka. Alhasil, Keluarga Gracie semakin besar dan berkembang. Sejumlah nama tenar hadir di generasi penerus keluarga ini seperti Carlson Gracie, Carlos Gracie Jr., dan Rorion Gracie. Menguasai beladiri Jujitsu Brasil, masing-masing penerus Keluarga Gracie menempuh jalan hidup yang berbeda, namun hal itu yang justru membuat Keluarga Gracie makin dikenal.
Misalnya saja Carlson yang memilih jalan pertarungan dan sukses membuat namanya terkenal di seantero Brasil lantaran sukses melakukan balas dendam atas kekalahan sang paman, Helio pada Valdemar Santana. Jika Carlson memilih jalan pertarungan, maka Carlos Jr. memilih untuk membuat Jujitsu Brasil warisan pendahulunya menjadi lebih global. Carlos Jr. adalah pendiri Federasi Internasional Jujitsu Brasil (IBJJF) yang menjadi payung dari asosiasi jujitsu Brasil dari seluruh dunia. Selain itu, Carlos Jr. juga fokus pada penyebaran Jujitsu Brasil dengan menjadi pelatih di beberapa tempat.
Hal yang berbeda juga terjadi pada Rorion yang merupakan anak tertua dari Helio. Meski memegang sabuk ban hitam tingkat sembilan, Rorion juga lebih memilih untuk melatih dan tidak terjun dalam dunia pertarungan bebas. Namun tak seperti Carlos Jr., Rorion hijrah ke Amerika Serikat dan menjadi penata gerak sejumlah film laga Hollywood seperti Lethal Weapon. Dari tangan Rorion ini pulalah, bekerja sama dengan Art Davie dan John Milius, konsep pertarungan bebas di Amerika Serikat mulai dikenal, yaitu lewat Ultimate Fighting Championship pada tahun 1993.
Setelah UFC resmi digelar, nama tenar dari keluarga Gracie datang dari Royce Gracie. Ia sukses membuat Jujitsu Brasil makin dikenal luas ke seluruh dunia seiring kesuksesannya menguasai panggung UFC.Royce adalah juara UFC seri pertama, kedua, dan keempat. Tak dimungkiri, Royce adalah sosok fenomenal di awal berdirinya UFC dan menjadi salah satu petarung yang sukses mengangkat pamor UFC.Dalam tiap pertarungannya, Royce sukses mengalahkan lawan-lawan yang lebih besar darinya. Setiap lawan tersebut sukses dijatuhkan Royce dan kemudian ia mengunci lawan tersebut dengan berbagai teknik kuncian sampai akhirnya sang lawan menyerah.Sejak keikutsertaan Royce di UFC, dari seri satu hingga lima, Royce tidak pernah mengalami kekalahan.
Ia gagal menjadi juara UFC seri ketiga lantaran mengundurkan diri usai mengalahkan Kimo Leopoldo di babak perempat final. Saat itu Royce mengalami dehidrasi. Satu hal yang menarik dari era awal UFC adalah rivalitas Royce dengan legenda UFC lainnya, Ken Shamrock. Royce mengalahkan Shamrock di semifinal UFC 1 dan kemudian mereka berdua gagal bertemu di UFC 2 karena Shamrock cedera. Gambaran rivalitas mereka berdua makin terasa saat Shamrock memutuskan mundur dari final UFC 3 karena dirinya mengetahui bahwa Royce sudah mengundurkan diri terlebih dulu.
Keduanya akhirnya kembali bertemu di final UFC 5. Royce yang saat itu belum pernah terkalahkan kembali berhadapan dengan Shamrock yang memang penasaran ingin balas dendam. Duel keduanya berlangsung seru. Shamrock sukses memperlihatkan pertarungan imbang. Jika banyak lawan-lawan Royce sebelumnya yang sudah menyerah dalam hitungan kurang dari 10 menit, Shamrock mampu terus berduel hingga 30 menit plus enam menit waktu tambahan.
Hasil akhir pertarungan ini adalah seri yang kemudian memunculkan sejumlah debat di publik. Rasa penasaran makin meningkat karena Royce kemudian memilih untuk tak lagi bermain di UFC usai UFC seri kelima.Rivalitas hebat ini pula yang kemudian membawa keduanya menjadi dua orang pertama yang masuk Hall of Fame UFC pada tahun 1993.”Kami merasa bahwa tidak ada dua orang di luar mereka ini yang layak untuk menerima penghargaan ini.” “Kontribusi mereka terhadap UFC, baik di dalam maupun di luar Oktagon (arena pertarungan), tidak akan bisa disamai oleh yang lainnya,” ujar Presiden UFC Dana White saat memberikan sambutan.Daniel Kelly adalah seorang suami, ayah, guru, dan juga atlet judo yang telah empat kali mengikuti Olimpiade.
Namun, ketika ia memasuki ring bersisi delapan yang dinamai “The Octagon” untuk menunjukkan keandalannya dalam ajang Ultimate Fighting Championship (UFC), pemerintah Australia melabeli dirinya sebagai “preman” yang membuat tingkat kekerasan di jalanan meningkat. Secara sederhana, pandangan negatif itulah yang selama bertahun-tahun didobrak oleh para petarung bela diri campuran (Mixed-Martial-Arts/MMA). Mereka ingin mematahkan ucapan mantan senator dari Amerika Serikat, John McCain, bahwa olahraga ini adalah sekadar versi manusia dari “sabung ayam” dan bahwa pertarungan mereka terlalu barbar untuk disaksikan manusia.
“Olahraga ini adalah olahraga paling aman di dunia,” ujar Dana White, komisioner UFC sekaligus sosok yang membuat olahraga ini kini bernilai nyaris US$ 3 miliar. “Apa yang lebih brutal dari tinju?” tanya White. “[Di tinju] Anda dan saya berdiri saling berhadapan satu sama lain selama 12 ronde, dan tujuan saya adalah untuk memukul Anda sekeras mungkin di wajah dan membuat Anda tidak sadar.” “Dalam UFC, saya bisa mengalahkan Anda tanpa sekali pun memukul kepala. Ada kesalahpahaman bahwa karena para petarung bisa menendang, menyikut, memukul, dan menghantam dengan lutut, maka UFC lebih kasar dan berbahaya. Padahal ini tidak benar.”
Ucapan White ini memang tak lantas ditelan bulat-bulat oleh mereka yang meragukan UFC dan bela diri campuran. Namun, hal ini tak membuat langkah UFC sebagai sebuah industri olahraga berhenti. Semula dinilai terlalu brutal, UFC kini justru mampu menjadi salah satu terobosan baru baik dalam olahraga bela diri maupun industri hiburan. Hanya dalam waktu 22 tahun sejak pertarungan pertama UFC diadakan pada 1993 silam, olahraga tersebut kini telah berevolusi menjadi bisnis miliaran dolar yang bahkan mengancam keberadaan tinju sebagai industri tarung nomor satu.
Saat ini UFC dimiliki oleh dua bersaudara Lorenzo dan Frank Fertita. Keduanya membeli brand UFC pada 2001 silam dengan harga US$ 2 juta dari Semaphore Entertainment Group (SEG).UFC diciptakan SEG pada 1993 sebagai ajang untuk menguji ilmu bela diri yang paling mematikan. Mereka terinspirasi oleh keluarga Gracie dari Brasil yang terkenal sebagai ahli Ju-Jitsu dan acap kali mengalahkan para jagoan dari cabang bela diri lain, seperti Judo, Karate, atau Taekwondo. SEG merasa konsep seperti itu cukup kuat untuk menjadi sensasi baru di televisi. Mereka lalu menggandeng orang-orang terkenal di dunia hiburan dan menawarkan suatu konsep tarung yang baru — bahkan dengan bentuk ring yang jauh dari kata konvensional.
Melabeli diri sebagai ajang yang tak memiliki aturan, bahkan tak ada pembedaan kelas berdasarkan berat badan, dengan cepat UFC mendapatkan label ajang paling brutal di dunia. Akan tetapi, konsep acara ini tak benar-benar mendapat perhatian di mata Amerika karena dianggap terlalu serius dan kurang unsur menghibur. Tak ayal SEG pun melepas ciptaan mereka ke tangan Feritta bersaudara. Lorenzo Fertitta mengatakan bahwa keputusannya membeli UFC didasarkan pada kombinasi bisnis dan juga kesukaan akan olahraga. Tumbuh besar dari Las Vegas, Lorenzo sebelumnya telah melihat banyak pertarungan hebat, mulai dari Muhammad Ali, Larry Holmes, dan juga menikmati masa keemasan tinju di awal 1980-an ketika Sugar Ray Leonard, Marvin Hagler, Thomas Hearns dan Roberto Duran berjaya. Ia juga menyaksikan era Mike Tyson.
“Namun, saya merasa bahwa tinju sebagai bisnis telah rusak karena berbagai hal,” kata Lorenzo. “Olahraga bela diri adalah beberapa olahraga yang diterima dan bisa ditransfer di panggung global,” kata Lorenzo. “Kadang beberapa olahraga, misalnya saja kriket, tidak menyebar dengan baik. Kami mengambil dua atlet kelas dunia, dan kami mengizinkan mereka menggunakan bela diri apa pun yang mereka mau.”Setelah membeli UFC, Fertitta bersaudara menerapkan aturan keselamatan baru, menjaga para petarung, dan mengenalkan hak siar dan hak pemasaran untuk olahraga tersebut.
Mereka juga melarang tindakan-tindakan yang dinilai terlalu brutal, seperti mencolok mata, mengigit, menyerang selangkangan, dan juga menanduk dengan kepala. “Kami sempat mengambil jeda untuk melakukan pengamatan. Kami tahu kami sedang berurusan dengan olahraga yang memiliki latar belakang kontroversial,” kata tuan Fertitta.”Kami menyusul ulang peraturan. Kami melihat cabang olahraga tarung yang ditandingkan di Olimpiade, gulat Greco-Roman, taekwondo, dan juga judo.””Inilah olahraga kami, kombinasi dari keempatnya. Olimpiade menjadi panduan peraturan keamanan.”Perubahan-perubahan tersebut membuat nilai UFC telah meningkat beratus-ratus kali lipat dan hingga kini UFC menghasilkan pendapatan mencapai US$ 500 juta dalam satu tahun.
Dari semula hanya ditayangkan di satu stasiun televisi di Amerika Serikat, kini UFC ditayangkan di lebih dari 150 negara, dalam 30 bahasa, dan juga ditonton oleh lebih dari satu miliar orang setiap tahun. Lorenzo mengatakan bahwa jika dilihat dari keuntungan dan pendapatan, UFC kini berada di puncak waralaba olahraga global, seperti halnya Manchester United, Dallas Cowboys, dan juga New York Yankees.Pendukung UFC digambarkan sebagai laki-laki berusia 18 hingga 34 tahun. Namun, di beberapa bagian dunia, terutama Brasil, ada tingkat ketertarikan tinggi dari para perempuan.
Lorenzo mengatakan bahwa olahraga ini, ditopang dengan kehadiran media sosial, menciptakan penggemar dengan demografi yang berbeda dari tinju, yang sering kali dilihat sebagai olahraga “orang tua.”Di benua Eropa, kehadiran UFC pun kini terbantu dengan adanya Gary Cook, mantan petinggi eksekutif Manchester City yang akan mengembangkan olahraga ini ke Eropa, Timur Tengah, dan juga Afrika. UFC juga kini tak lagi dipandang sebelah mata oleh media. Jika sekilas mengunjungi situs resmi Fox Sports, ESPN, atau Sky Sports, maka terlihat bahwa ketiga media olahraga tersebut sudah menyediakan laman khusus UFC atau Mixed Martial Arts, yang berdampingan dengan berita-berita seperti sepak bola, tenis, atau formula 1.
UFC memang masih memiliki jalan panjang untuk benar-benar menggantikan tinju, terutama melihat pertarungan Floyd Mayweather Jr. dan Manny Pacquiao yang menjadi ajang olahraga dengan gelimang uang paling besar sepanjang sejarah.
Namun, melihat bagaimana UFC dan MMA bisa meroket hanya dalam waktu kurang dari 20 tahun, tak akan menjadi suatu kekagetan jika dalam 10 tahun ke depan mereka setidaknya sudah bisa berdiri setara dengan tinju.Garry Cook mungkin tidak mengenakan celana tarung atau sarung tangan ketika berangkat bekerja. Namun bukan berarti sosoknya kurang penting ketimbang mereka yang bertarung bela diri campuran (MMA).
Dengan kemeja, dasi, dan setelan jas, mantan CEO Manchester City itu kini menjadi bagian krusial dari dunia Ultimate Fighting Championship (UFC) dan menggunakan keahliannya di bidang pemasaran untuk “berkelahi” dan membuat ajang tarung gaya bebas itu mendunia.Nama Cook ‘muncul’ di dunia olahraga pada 2008, saat ia pindah dari Nike untuk menjadi CEO Manchester City. Cook merupakan bagian dari wajah baru City, yang awalnya terus menerus berada di bayang-bayang klub tetangga, Manchester United.
Akan tetapi, kesuksesan Cook di City harus diakhiri dengan cara yang kurang baik, setelah ia secara tak sengaja mengirim sebuah surat elektronik yang mengejek ibu salah satu pemain The Citizens saat itu, Nedum Onuoha.Selepas insiden itu, Cook akhirnya mengundurkan diri dari posisinya di City. Namun, jejaring bisnis yang ia miliki dengan pemegang saham UFC di Abu Dhabi membuatnya memulai perjalanan baru di dunia tarung gaya bebas.Cook yang terbiasa menangani pemain sepak bola, tampak tak terlalu kesulitan untuk menangani para petarung UFC, yang ia anggap lebih mampu menentukan nasib mereka sendiri.
“Pemain sepak bola berada di bawah kendali pelatih, media, dan sponsor,” ujar Cook melanjutkan. “Berbeda dengan para petarung.”Selain itu, Cook juga menggunakan pengalamannya di dunia sepak bola untuk mengembangkan nama UFC agar lebih mendunia. “Dulu ini (UFC) merupakan sebuah bisnis Amerika yang dibangun di lingkup jaringan televisi oleh beberapa orang seperti Dana (White, presiden UFC) dan Lorenzo (Fertitta, entrepreneur dan promotor olahraga),” ujar Cook kepada Telegraph. “Kini, bisnis ini telah menjadi bisnis global. Setelah bertahun-tahun, mereka menyadari telah membuat sebuah monster.”
Cook yang kini menjadi Ketua Global Brand UFC, merasa bisnis tarung bebas ini dapat menjadi lebih besar lagi, terlebih karena ia merasa pasar masih bisa menerima lebih banyak ajang UFC. “Kami ingin melakukan lebih banyak lagi (pertarungan UFC),” ujar Cook seperti yang dilansir MMA Fighting. “Saya menyadari hal ini di Brasil, kemudian di Asia. Ada tuntuntan untuk 20 hingga 30 event UFC lagi.” Tapi dalam usahanya memperbesar pasar UFC, Cook tak ingin gegabah dan memilih untuk mempertimbangkan banyak hal. Ia lebih memilih untuk mengatur bisnis secara hati-hati, terukur, dan “tidak terlalu agresif.”
Namun Cook menegaskan keinginannya untuk menciptakan pasar baru bagi olahraga tersebut.”Saya percaya, pekerjaan saya tak hanya menjamah para suporter UFC saja, tetapi juga membawa penonton baru di dunia olahraga ini,” ujar Cook melanjutkan. “Saya pikir itulah yang harus kami lakukan di 15 hingga 20 tahun ke depan. Kami ingin menjadi salah satu olahraga besar di seluruh dunia.” Menurut Cook, daya tarik dunia tarung gaya bebas ini terletak dari kesederhanaan olahraga tersebut.”Olahraga ini adalah dua orang petarung dalam sebuah duel. Akan selalu ada pemenang dan pihak yang kalah,” ujar Cook menjelaskan. “Tak ada drama lain. Dan hal ini begitu menjual, dimana pun di dunia ini.”
Cook mungkin bukanlah sosok yang menemukan UFC. Namun dengan bertindak sebagai inovator yang terus memperlebar sayap olahraga tersebut, Cook sejauh ini telah memenangi pertarungannya di luar lapangan, hanya dengan bekal kemeja, dasi, setelan jas, ilmu pengetahuan, dan keberanian untuk berinovasi.
Di luar ring, Ronda Rousey adalah seorang gadis yang manis dengan senyum tipis. Begitu masuk ring, tak pernah ada lagi senyum yang menghias wajahnya. Yang ada hanyalah wajah buas petarung yang siap meruntuhkan musuhnya.
Muncul dengan latar belakang seorang pejudo, Rousey sukses membuat panggung Ultimate Fighting Championship jadi area kekuasaannya. Sulit bagi petarung lainnya untuk bertahan dari keganasan Rousey meskipun pada sesi pra pertandingan mereka penuh percaya diri.Semua kepercayaan diri petarung-petarung tersebut langsung luntur di hadapan Rousey. Gaya bertarung Rousey sejauh ini sulit untuk ditaklukkan oleh petarung lainnya.Memulai pertarungan dengan saling adu pukul, Rousey biasanya mengincar celah untuk menjatuhkan lawan ke lantai, baik dengan sapuan kaki maupun bantingan.
Setelah lawan jatuh, Rousey dengan kedua kakinya yang lincah segera mengunci lengan lawan. Beberapa detik kemudian, pertarungan pun pasti dihentikan karena lawan tak lagi berdaya. Julukan ‘The Arm Collector’ sudah Bila lawan sibuk untuk menjaga lengannya agar tak dikunci oleh Rousey, maka tangan Rousey pun akan dengan cepat menghujani wajah lawan dengan pukulan bertubi-tubi dan membuat wasit menghentikan pertandingan.Liz Carmouche, Sara McMann, Alexis Davis, dan Cat Zingano adalah nama-nama yang sudah merasakan betapa buasnya di dalam arena pertandingan.
Untuk Zingano, lawan terakhir yang dihadapi Rousey pada 28 Februari lalu, ia bahkan hanya bisa bertahan selama 14 detik di hadapan Rousey. Ini adalah rekor pertarungan tercepat dalam sejarah UFC.Zingano yang maju tanpa takut menghadapi Rousey, ternyata harus langsung menyerah ketika ia menunjukkan celah di pertahanannya sehingga Rousey bisa langsung mengunci lengannya. Total Rousey memenangi seluruh 11 laga yang ia jalani di UFC. Namun sebelum UFC, karier Rousey sudah terbentang jauh.
Ganas dan buas di atas ring, karakter Rousey makin kuat lantaran ia juga dikenal tanpa ragu mengekspresikan ketidaksukaannya secara langsung. Dalam acara timbang badan dalam laga lawan Miesha Tate, Rousey tanpa ragu mengacungkan jari tengah di hadapan banyak media. Namun di luar itu, Rousey adalah gadis cantik di luar ring. Wajahnya begitu populer dan laris jadi model di banyak kesempatan. Ia pernah menjalani sesi foto dengan Majalah ESPN, Maxim dan juga Sports Illustrated. Rousey juga jadi sampul depan dalam cover game EA Sports UFC.
Ingin Jadi Petarung Terhebat, Bukan Gadis Terseksi di Dunia. Kombinasi ganas dan cantik itulah yang terus mengangkat nama Rousey ke permukaan dan diidolakan banyak orang. Namun Rousey sendiri secara tegas menyebut bahwa dirinya tidak nyaman dengan predikat cantik atau seksi. “Saat Sports Illustrated menyebut saya petarung terbaik untuk kelas pound for pound, maka saya akan merasa sangat jauh lebih bahagia dibandingkan saat seseorang berkata saya cantik,” ujar Rousey dalam wawancaranya dengan HBO.
“Jika saya terpilih sebagai ‘Wanita Terseksi yang Pernah Ada’, maka hal itu sama sekali tidak membuat saya gembira,” kata peraih medali emas PAN America 2007 ini menambahkan. Rousey juga menyoroti stigma yang beredar di publik bahwa kaum perempuan tidak cocok berada di dunia mixed martial arts (MMA). Banyak argumen konyol yang menegaskan bahwa MMA anti perempuan (dengan adanya pertarungan perempuan).” “Pertarungan bukanlah milik laki-laki, pertarungan adalah milik semua manusia.” “Justru dengan mengatakan bahwa MMA adalah anti perempuan, maka justru merekalah yang mendiskriminasikan perempuan,” ujar Rousey menegaskan.
Semua terdengar seperti mimpi. Berawal dari seorang petarung jalanan yang menjadi sensasi internet, Kimbo Slice kemudian direkrut untuk mengikuti ajang tarung paling populer di Amerika Serikat saat ini, Ultimate Fighting Championship atau yang akrab dipanggil UFC. Satu-satunya hal tersisa bagi Slice adalah mengalahkan para jagoan UFC dan menasbihkan dirinya sebagai juara. Namun, hanya dalam waktu 14 detik saja, Slice menyadari bahwa menjadi jawara UFC tak semudah yang terlihat di atas kertas. Hanya dalam waktu 14 detik saja ia harus tahu rasanya di-KO petarung veteran, Seth Petruzelli.
Nama seorang Kimbo Slice mulai tenar di kalangan pemerhati ajang bela diri dan juga para Youtube-mania pada pertengahan 2000-an. Videonya yang sedang bertarung di halaman depan sebuah rumah dengan cepat tersebar luas. Dengan perawakan gempal, janggut lebat yang hitam, gigi emas, serta kecepatan memukul dan kelincahan luar biasa, Kimbo Slice dengan cepat menarik perhatian para pengguna internet. Video pertarungannya memperlihatkan bagaimana Slice menghajar lawan tanpa kenal ampun, bahkan saking brutalnya ia membuat mata kanan sang lawan bengkak dan nyaris keluar dari soketnya. Dalam sekejap saja Kimbo Slice menjadi buah bibir banyak orang dan bahkan sempat tampil di sampul majalah ESPN pada tahun 2008.
Rekor bertarung Slice di jalanan, menang 22 kali dan kalah 1 kali, membuat perusahaan Elite XC merekrutnya. Padahal, semula ia hanya seorang petugas keamanan di perusahaan film porno, Bang Bro. Setelah menjalani beberapa pertandingan bersama Elite XC, perusahaan yang ingin meyaingi UFC, Slice pun mendapatkan kesempatan untuk mencicipi rasanya bertarung di UFC. Catatan Slice di awal-awal berkarier di UFC cukup menjanjikan. Dari tiga kali berlaga, ia mendapatkan tiga kemenangan yaitu melawan Ray Mercer, Tank Abbot, dan James Thompson.
Meski demikian, Slice mendapatkan reaksi negatif karena ketiga lawannya itu adalah petarung tua yang bentuk tubuhnya sudah tidak ideal lagi untuk melakukan bela diri campuran. Setelahnya, Slice ditawari peluang untuk menantang jagoan UFC di era 1990-an, Ken Shamrock. Lagi-lagi petarung tua, namun jika berhasil menang, Slice akan diakui bisa memiliki masa depan di dunia bela diri campuran. Jelang pertarungan tersebut, Shamrock undur diri karena sakit. Dengan waktu yang sangat singkat, seorang pemain UFC veteran, Petruzelli, mengajukan diri untuk menggantikan Shamrock.
Di hari-H, Slice memulai laga dengan agresif. Ia berulang kali melayangkan pukulan tangan kanan dan kiri bergantian. Petruzelli melangkah mundur hingga ke bersandar di ring dan menunjukkan aksi bertahan. Lalu, dalam sekejap Petruzelli bisa melayangkan pukulan KO ke arah rahang Slice sehingga sang fenomena internet terjatuh.
Dari sana, Petruzelli yang lebih ringan 18 kilogram dari Slice tinggal dengan mudah memukuli kepala Slice sehingga wasit pun menghentikan pertandingan. Hanya dalam waktu 14 detik saja Petruzelli membuktikan bahwa tak sembarang orang bisa menjadi jagoan di ajang UFC dan bahwa kekuatan yang didapatkan di jalanan tidak cukup untuk mengalahkan para petarung UFC yang sudah paham teknik bertarung dari jarak dekat. Slice sempat menjalani dua pertandingan lagi di UFC dengan hasil yang sama, yaitu dikalahkan dengan mudah. Setelah itu ia undur diri dan berkarier di dunia tinju amatir.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.